Penggunaan tepung ikan dan minyak ikan sebagai bahan pembuat pakan yaitu sekitar sepertiga produksi tepung ikan dunia untuk bahan pembuat pakan ikan dianggap sebagai kegiatan akuakultur yang tidak berkelanjutan walaupun pakan berperan penting dalam menciptakan industri akuakultur yang berkelanjutan. Peningkatan proporsi suplai tepung ikan untuk produksi ikan dari sebesar 10% pada tahun 1988 menjadi 17% pada tahun 1994 dan menjadi 33% pada tahun 1997. Kontribusi biaya pakan ikan untuk produksi ikan atau udang sangat besar yaitu sekitar 50% atau lebih terutama untuk biaya komponen protein (Bender et al., 2004), tetapi yang diretensi oleh ikan hanya sekitar 20-30% (rata-rata 25%) dari nutrien pakan (Avnimelech dan Ritvo, 2003). Oleh karena itu, pencarian sumber protein yang murah diperlukan supaya akuakultur menjadi berkelanjutan di samping pengkajian supaya efisiensi konversi pakan tinggi.
Di samping itu, pertumbuhan industri akuakultur yang intensif menyebabkan makin cepat terjadinya proses akumulasi sisa pakan. Bahan organik dan nitrogen inorganik yang toksik di dalam perairan sehingga semakin meningkatnya dampak negatif terhadap lingkungan perairan (Avnimelech, 2007). Dengan kata lain, proses produksi pada system akuakultur menghasilkan sejumlah besar buangan ke lingkungan yang berupa nutrient, senyawa organik, dan anorganik seperti ammonium, posfor, karbon oragnik terlarut, dan bahan organik termasuk pakan yang tidak termakan dan feses (Piedrahita, 2003). Tingginya nutrient yang masuk ke perairan menyebabkna kerusakan lingkunag perairan. Air yang berasal dari perairan yang rusak ini meningkatkan kehadiran mikroorganisme pathogen, sehingga patogenitas penyakt semakin meningkat pada lingkungan akuakultur. Hal ini justru dapat mengurangi produksi akuakultur.
Metode yang paling umum untuk mengatasi buangan dari kegiatan akuakultur adalah pergantian air kolam dengan air yang baru secara terus menerus (Gutierrez-Wing dan Malone, 2006), tetapi metode ini memerlukan air baru yang sangat banyak yaitu sampai beberapa ratus ribu meter kubik air setiap hari untuk kegiatan akuakultur skala kecil sampai menengah. Metode kedua yang umum digunakan untuk menghilangkan sebagian besar polutan dari perairan kolam adalah sistem resirkulasi (RAS – Recirculating Aquaculture System) yang menggunakan berbagai tipe biofilter yang berbeda dalam pengolahan limbah, tetapi metode ini memerlukan investasi dan biaya operasional yang besar termasuk biaya energi dan tenaga kerja. Menurut Avnimelech (2007) terdapat pendekatan baru untuk mengurangi limbah kegiatan akuakultur dengan teknologi bio-flocs (BFT – Bio-flocss technology). Pada sistem ini, bakteri heterotrof dan alga ditumbuhkan bersama-sama dalam flocs di bawah kondisi terkontrol pada kolam akuakultur dengan zero atau minimal pertukaran air. Komunitas mikroba ini berkembang dapat mencapai kepadatan 107 CFU (Colonies Forming Unit)/ml (Burford et al., 2003).
Bio-flocs merupakan suspensi yang terdapat di dalam air yang berupa fitoplankton, bakteri, agregat hidup, bahan organik dan pemakan bakteri (Avnimelech, 2007) atau berupa campuran heterogen dari mikroorganisme, partikel, koloid, polimer organik, kation dan sel mati dapat mencapai ukuran 1000 µm (De Schryver et al., 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar