Fungi adalah organisme heterotrofik yang berfilamen. Fungi dalam perairan mempengaruhi kesehatan ikan. Ikan yang terinfeksi fungi tidak akan dapat bertahan hidup lebih lama. Bahkan infeksi ini dapat dapat tersampaikan pada individu yang berada pada waktu dan tempat yang sama. Infeksi ini dapat menyebar melalui spora yang dikeluarkan oleh fungi. Apabila penyebaran fungi tidak segera di atasi maka penurunan kualitas dan kuantitas ikan kultur kemungkinan besar akan terjadi. Salah satu cara mengatasi penyebaran infeksi fungi ini dengan mengetahui terlebih dahulu morfologi dari fungi itu sendiri sehingga selanjutnya dapat diidentifikasi fungi yang menginfeksi ikan tersebut.
Fungi memiliki ciri-ciri penting yaitu, tidak mengandung klorofil, mempunyai inti sel, memproduksi spora, dan dapat berkembang biak secara seksual dan aseksual. Tubuh terdiri dari miselium. Miselium merupakan kumpulan dari beberapa hifa. Sedangkan hifa sendiri merupakan filamen.
Hifa pada fungi terdapat tiga bentuk menurut Samsuri (2000), yaitu :
·Hifa aseptat yang tidak memiliki dinding sekat atau septum
·Hifa septat dengan sel-sel uninukleat yaitu sekat yang membagi hifa menjadi ruang-ruang/ sel-sel yang berisi nukleus tunggal
·Hifa septat dengan sel-sel multinukleat yaitu hifa menjadi sel-sel dengan lebih dari satu nukleus dalam satu ruang
Hifa berdasarkan sifatnya :
·Hifa vegetatif untuk pertumbuhan somatic saja dengan mengambil makanan dari luar
·Hifa fertil untuk reproduksi
Yeast VS Kapang (Samsuri, 2000)
Yeast :
·Sifat uniseluler dan mikroskopis
·Ditemukan pada lingkungan yang berkadar gula dan pH rendah
·Memiliki dinding sel yang serupa dengan bakteri
Kapang :
·Multiseluler dan ada yang mikroskopis dan makroskopis
·Terdapat pada tempat lembab
·Memiliki dindnig sel yang kaku
Fungi yang menyebabkan penyakit pada ikan yaitu :
Saprolegnia adalah fungi yang menyerang pada ikan dan telurnya dan bersifat parasit.
Aphanomyces adalah salah satu fungi yang menyebabkan penyakit EUS (Ulcerative Epizootic Syndrome).
Tabel 1.Hasil Pengamatan Gambaran Darah Ikan Lele Clarias sp.
Pembahasan
Wedemeyer et al. (1990) dalam Dopongtonung (2008) menyatakan bahwa pemeriksaan darah penting untuk membantu peneguhan diagnosa suatu penyakit. Penyimpangan fisiologis ikan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada gambaran darah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Darah akan mengalami perubahan yang serius khususnya apabila terkena penyakit infeksi (Amlacher, 1970 dalam Dopongtonung, 2008). Parameter darah yang dapat memperlihatkan adanya gangguan adalah nilai hematokrit, konsentrasi haemoglobin, jumlah eritrosit (sel darah merah), dan jumlah leukosit (sel darah putih) (Lagler et al., 1977 dalam Dopongtonung, 2008).
Berdasarkan tabel 1 pengamatan sel darah merah (SDM) didapatkan bahwa kelompok 1 memiliki nilai SDM terendah sebesar 2,56 x 106 sel/ml dankelompok 3 memiliki nilai SDM tertinggi sebesar 3,25 x 106et al. (1985) dalam Dopongtonung (2008) yang menyatakan bahwa jumlah eritrosit ikan lele adalah 3,18 x 106 sel/ml. Selain itu menurut Angka et al. (1985) dalam Dopongtonung (2008), ukuran eritrosit ikan lele Clarias sp. berkisar antara (10 x 11 µm)–(12 x 13 µm), dengan diameter inti berkisar antara 4-5 µm. Hal tersebut bisa saja terjadi diduga kondisi ikan yang tidak normal. Berdasarkan tabel 1 didapatkan bahwa untuk kelompok 1 diduga ikan lele terkena anemia akibat rendahnya eritrosit yang nilainya sebesar 2,56 x 106 sel/ml. Sedangkan pada kelompok 2 dan 3 diduga ikan mengalami stres saat pengambilan (penanganan) ikan dalam wadah ember untuk proses diagnosa yang ditandai tingginya eritrosit sebesar untuk kelompok 2 yaitu, 3,25 x 106 sel/ml dan kelompok 3 yaitu, 3,25 x 106 sel/ml. Pendapat ini didukung oleh Wedemeyer dan Yasutake (1977) dalam Dopongtonung (2008) yang menyatakan bahwa rendahnya eritrosit merupakan indikator terjadinya anemia, sedangkan tingginya jumlah eritrosit menandakan ikan dalam keadaan stres. sel/ml. Data tersebut berbeda dengan pendapat Angka
Leukosit merupakan jenis sel yang aktif di dalam sistem pertahanan tubuh. Leukosit memiliki ciri-ciri tidak berwarna dan jumlah leukosit ikan lele sehat berkisar antara (20-150) x 103 sel/mm3 (Bastiawan dkk., 2001 dalam Alamanda, 2006). Jumlah leukosit pada tabel 1 didapatkan berkisar antara (1,453-2,21) x 105 sel/ml. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi secara keseluruhan leukosit ikan berada dalam tingkat yang tidak normal. Pada kelompok 5 didapatkan data terendah sebesar 1,453 x 105 sel/ml dan diikuti oleh kelompok 6 sebesar 1,88 x 105 sel/ml. Berdasarkan data kelompok 5 dan 6 diduga ikan lele mengalami infeksi penyakit. Hal tersebut didukung oleh pendapat Arry (2007) dalam Dopongtonung (2008) yang menyatakan bahwa penurunan jumlah leukosit disebabkan karena adanya gangguan pada fungsi organ ginjal dan limpa dalam memproduksi leukosit yang disebabkan oleh infeksi penyakit. Sedangkan pada kelompok 4 berada pada kisaran normal yang ditandai dengan jumlah leukosit sebesar 2,21 x 105 sel/ml. Leukosit ikan lele terdiri dari monosit, limfosit, dan neutrofil. Menurut Bastiawan dkk. (2001) dalam Alamanda (2006) monosit berfungsi sebagai fagosit terhadap benda-benda asing yang berperan sebagai agen penyakit. Limfosit berfungsi sebagai penghasil antibodi untuk kekebalan tubuh dari gangguan penyakit. Neutrofil berperan dalam respon kekebalan terhadap serangan organisme patogen dan mempunyai sifat fagositik. Neutrofil dalam darah akan meningkat bila terjadi infeksi dan berperan sebagai pertahanan pertama dalam tubuh (Dellman dan Brown, 1989 dalam Alamanda, 2006).
Hematokrit adalah persentase eritrosit di dalam darah (Guyton, 1997 dalam Dopongtonung, 2008). Hematokrit digunakan untuk mengukur perbandingan antara eritrosit dengan plasma, sehingga hematokrit memberikan rasio total eritrosit dengan total volume darah dalam tubuh. Persentase nilai hematokrit ikan lele normal berkisar antara 30,8%-45,5% (Angka et al., 1985 dalam Dopongtonung, 2008). Berdasarkan tabel 1 jumlah hematokrit lele berkisar antara 5,97%-34,88%. Hal tersebut berarti memiliki persentase terendah dibandingkan dengan pendapat Angka et al. (1985) dalam Dopongtonung (2008) yang sebesar 30,8%-45,5%. Data tersebut bisa saja terjadi diduga ikan mengalami anemia maupun stres akibat rendah ataupun tingginya nlai eritrosit. Eritrosit tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya persentase hematokrit. Hal ini sesuai dengan pendapat Angka et al. (1985) dalam Dopongtonung (2008), nilai hematokrit adalah parameter yang berpengaruh akibat pengukuran volume eritrosit. Menurut Randall (1970) dalam Dopongtonung (2008), nilai hematokrit yang lebih kecil dari 22% menunjukkan bahwa ikan mengalami anemia dan kemungkinan terinfeksi penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Alamanda, et. al. 2006. Penggunaan Metode Hematologi dan Pengamatan EndoparasitDarah untuk Penetapan Kesehatan Ikan Lele Dumbo Clarias gariepinus di Kolam Budidaya Desa Mangkubumen Boyolali. Biodiversitas 8 (1) : 34-38.
Dopongtonung, A. 2008. Gambaran Darah Ikan Lele (Clarias spp.) yang Berasal Dari Daerah Laladon-Bogor. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Vaksin adalah satu bahan antigen yang biasanya berasal dari suatu jasad patogen yang telah dilemahkan atau dimatikan yang berfungsi untuk meningkatkan ketahanan ikan atau menimbulkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit tertentu. Vaksinasi merupakan salah satu upaya penanggulangan penyakit pada hewan (termasuk ikan) dengan cara pemberian vaksin ke dalam tubuh hewan agar memiliki ketahanan terhadap serangan penyakit. Teknik pemakaian vaksin yang biasa dilakukan pada ikan mencakup bermacam cara, yaitu melalui suntikan, makanan atau oral, perendaman, dan penyemprotan dengan tekanan tinggi. Faktor yang mempengaruhi vaksinasi pada ikan antara lain temperatur, umur, dan berat ikan. Faktor temperatur yang rendah membuat produksi antibodi lambat. Sedangkan untuk umur dan berat ikan, vaksinasi jangan dilakukan pada ikan yang umurnya kurang dari 2 minggu dan berat badannya kurang dari 1 gram. Hal tersebut dikarenakan pada umur kurang dari 2 minggu sistem kekebalan organ tubuh ikan belum sempurna untuk memproduksi antibodi (Ghufran, 2004).
Metode vaksin secara konvensional biasanya dibagi menjadi 2 yaitu, Heat Killed Vaccine (HKV) dan Formalin Killed Vaccine (FKV).
Prosedur Kerja
2.3.1 Metode Heat Killed Vaccine
Bakteri Aeromonas hydrophila (Misalnya) yang ditumbuhkan di erlenmeyer dengan media TSB disiapkan. Kemudian Aeromonas hydrophila diambil 1 ml dengan menggunakan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung effendorf. Setelah itu, disentrifuge 3000 rpm selama 10 menit. Setelah 10 menit, endapan (supernatan) dibuang dan diambil natannya dan dicuci dengan PBS sebanyak 1 ml dengan pipet mikro dan disuspensikan dalam PBS 1 ml dengan vortex selama 2-3 menit. Setelah itu, di sentrifuge kembali 3000 rpm selama 10 menit, dibuang supernatan dan diambil natan, dicuci dengan PBS 1 ml, dan disuspensikan kembali dalam PBS 1 ml dengan vortex selama 2-3 menit. Hasil suspensi Aeromonas hydrophila dengan PBS disentrifuge kembali di 3000 rpm selama 10 menit dan diambil natannya. Natan tersebut kemudian dipanaskan di penangas air pada suhu 600C selama 30 menit. Setelah itu, dicuci dengan PBS 1 ml, disuspensikan dalam PBS 1 ml dengan vortex selama 2-3 menit, diambil natannya, dicuci lagi dengan PBS 1 ml, dan disuspensikan dalam PBS 1 ml dengan vortex selama 2-3 menit. Kemudian hasil vortex dijadikan sebagai HKV (Heat Killed Vaccine) dan diuji dengan viabilitas. Uji viabilitas dilakukan dengan cara menggoreskan HKV di media agar miring TSA dengan jarum ose. Setelah itu, dimasukkan ke dalam inkubator selama 24 jam dan kemudian diamati ada tidaknya pertumbuhan koloni.
2.3.2 Metode Formalin Killed Vaccine
Metode FKV (Formalin Killed Vaccine) hampir sama seperti metode HKV yaitu, bakteri Aeromonas hydrophila yang ditumbuhkan di erlenmeyer dengan media TSB disiapkan. Kemudian Aeromonas hydrophila diambil 1 ml dengan menggunakan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung effendorf. Setelah itu, disentrifuge 3000 rpm selama 10 menit. Setelah 10 menit, endapan (supernatan) dibuang dan diambil natannya dan dicuci dengan PBS sebanyak 1 ml dengan pipet mikro dan disuspensikan dalam PBS 1 ml dengan vortex selama 2-3 menit. Setelah itu, di sentrifuge kembali 3000 rpm selama 10 menit, dibuang supernatan dan diambil natan, dicuci dengan PBS 1 ml, dan disuspensikan kembali dalam PBS 1 ml dengan vortex selama 2-3 menit. Hasil suspensi Aeromonas hydrophila dengan PBS disentrifuge kembali di 3000 rpm selama 10 menit dan diambil natannya. Natan tersebut kemudian ditambahkan formalin 0,8%. Setelah itu, disentrifuge 3000 rpm selama 10 menit dan kemudian dicuci dengan PBS 1 ml, disuspensikan dalam PBS 1 ml dengan vortex selama 2-3 menit. Kemudian hasil vortex dijadikan sebagai FKV (Formalin Killed Vaccine) dan diuji dengan viabilitas. Uji viabilitas dilakukan dengan cara menggoreskan HKV di media agar miring TSA dengan jarum ose. Setelah itu, dimasukkan ke dalam inkubator selama 24 jam dan kemudian diamati ada tidaknya pertumbuhan koloni.
Suatu penghargaan besar dari saya untuk Anda karena telah bersedia masuk di blog ini. Saya akan mencoba dan berusaha memberikan yang terbaik untuk Anda............... Selamat menikmati...............